2 type endapan/cebakan emas


ada dua type endapan atau yang disebut dengan cebakan yaitu : Endapan primer / Cebakan Primer dan Endapan plaser / Cebakan Sekunder

cebakan secara primer adalah yang penyebarannya mengikuti jalur-jalur busur magmatik.Cebakan emas primer dapat ditambang secara tambang terbuka ( open pit ) maupun tambang bawah tanah ( underground minning ). Cebakan primer merupakan cebakan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Salah satu tipe cebakan primer yang biasa dilakukan pada penambangan skala kecil adalah bijih tipe vein ( urat ), yang umumnya dilakukan dengan teknik penambangan bawah tanah terutama metode gophering / coyoting ( di Indonesia disebut lubang tikus ). Penambangan dengan sistem tambang bawah tanah (underground), dengan membuat lubang bukaan mendatar berupa terowongan (tunnel) dan bukaan vertikal berupa sumuran (shaft) sebagai akses masuk ke dalam tambang. Penambangan dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana ( seperti pahat, palu, cangkul, linggis, belincong ) dan dilakukan secara selectif untuk memilih bijih yang mengandung emas baik yang berkadar rendah maupun yang berkadar tinggi.

Terhadap batuan yang ditemukan, dilakukan proses peremukan batuan atau penggerusan, selanjutnya dilakukan sianidasi atau amalgamasi, sedangkan untuk tipe penambangan sekunder umumnya dapat langsung dilakukan sianidasi atau amalgamasi karena sudah dalam bentuk butiran halus.
Beberapa karakteristik dari bijih tipe vein ( urat ) yang mempengaruhi teknik penambangan antara lain :
  1. Komponen mineral atau logam tidak tersebar merata pada badan urat.
  2. Mineral bijih dapat berupa kristal-kristal yang kasar.
  3. Kebanyakan urat mempunyai lebar yang sempit sehingga rentan dengan pengotoran ( dilution ).
  4. Kebanyakan urat berasosiasi dengan sesar, pengisi rekahan, dan zona geser (regangan), sehingga pada kondisi ini memungkinkan terjadinya efek dilution pada batuan samping.
  5. Perbedaan assay ( kadar ) antara urat dan batuan samping pada umumnya tajam, berhubungan dengan kontak dengan batuan samping, impregnasi pada batuan samping, serta pola urat yang menjari ( bercabang ).
  6. Fluktuasi ketebalan urat sulit diprediksi, dan mempunyai rentang yang terbatas, serta mempunyai kadar yang sangat erratic ( acak / tidak beraturan ) dan sulit diprediksi.
  7. Kebanyakan urat relatif keras dan bersifat brittle.
Dengan memperhatikan karakteristik tersebut, metode penambangan yang umum diterapkan adalah tambang bawah tanah ( underground ) dengan metode Gophering, yaitu suatu cara penambangan yang tidak sistematis, tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan penambangan ( development works ) dan arah penggalian hanya mengikuti arah larinya cebakan bijih. Oleh karena itu ukuran lubang ( stope ) juga tidak tentu, tergantung dari ukuran cebakan bijih di tempat itu dan umumnya tanpa penyanggaan yang baik.
Cara penambangan ini umumnya tanpa penyangga yang memadai dan penggalian umumnya dilakukan tanpa alat-alat mekanis. Metode tambang emas seperti ini umum diterapkan di berbagai daerah operasitambang rakyat di Indonesia, seperti di Ciguha,Pongkor-Bogor; GunungPeti,Cisolok-Sukabumi;  Gunung Subang,Tanggeung-Cianjur; Cikajang-Garut; Cikidang,Cikotok-Lebak; Cineam-Tasikmalaya; Kokap-Kulonprogo; Selogiri-Wonogiri; Punung-Pacitan; Tatelu-Menado; BatuGelas,RataTotok-Minahasa; Bajuin-TanahLaut; Perenggean-PalangkaRaya; Ketenong-Lebong;  dan lain-lain. 

Penambangan dilakukan secara sederhana, tanpa development works, dan langsung menggali cebakan bijih menuruti arah dan bentuk alamiahnya. Bila cebakan bijih tersebut tidak homogen, kadang-kadang terpaksa ditinggalkan pillar yang tak teratur dari bagian-bagian yang miskin.



Cebakan sekunder merupakan hasil erosi cebakan primer yang kemudian di endapkan kembali di sekitarnya. Tidak semua mineral dapat menghasilkan cebakan sekunder. Ada logam yang tidak tahan terhadap suhu dan gas-gas yang terdapat di udara pada permukaan bumi. Proses kimia dan fisika atau pelapukan akan menghancurkan logam tersebut. Tetapi, ada logam yang tahan terhadap kondisi pelapukan, antara lain emas dan timah. Karena itulah kedua mineral ini sering terdapat dalam cebakan sekunder yang bercampur dengan rombakan batuan. cebakan emas sekunder umumnya ditambang secara tambang terbuka.


Cara  menambang endapan sekunder relatif mudah, cukup dengan mendulang dan menggunakan kekuatan air. Karena itu, banyak sekali rakyat yang mencari nafkah dengan melakukan penambangan emas sekunder melalui pendulangan. Diperkirakan ratuasan ribu orang menggantungkan hidupnya dari penambangan dengan cara ini. Pertambangan semacam ini, dalam peraturan perundang-undangan dinamakan pertambangan rakyat. Tidak terbitnya administrasi, sering kali  membuat pertambangan jenis ini di sebut sebagai pertambangan tanpa izin (PETI). Padahal, terdapat peraturan perundangan yang sebenarnya melindungi kegiatan pertambangan rakyat semacam ini, seperti yyang termaksud dalam UU no 11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan. Pertambangan rakyat yang sah berdasarkan UU tersebut adalah pertambangan yang di lakukan di daerah yang telah di tetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat atau WPR. Ketepan ini dilakukan oleh menteri atas usul dari gubernur.

Karena penggunaan teknologi sederhana, pertambangan rakat pada umumnya merusak lingkungan. Kerusakan bukan saja secara fisik, yaitu dengan merusak dasar sungai, membuang bekas galian dan meninggalkan lubang galian, tetapi secara kimiawi juga mencemar air sungai karena rakyat mengolah emas dengan menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan air raksa. Seberapa jauh pencemaran membahayakan penduduk perlu di teliti lebih lanjut, sebab dampaknya terhadap kesehatan manusia mungkin baru di rasakan sesudah beberapa tahun kemudian. Kasus penyakit minamata yang menjakiti penduduk Jepang bisa di jadikan pelajaran untuk mewaspadai pencemaran lingkungan akibat pengotoran oleh air raksa.

Kegiatan penambangan emas sekunder sebenarnya merupakan penuntun untuk mencari cebakan emas primer yang lebih banyak dan lebih kaya, karena cebakan primer memang induk dari endapan sekunder. Secara topografis, cebakan yang terbentuk secara sekunder akan berada pada bagian yang lebih bawah dari pada tempat terdapatnya cebakan primer. Kemudian, karena berat jenisnya, cebakan sekunder akan bergabung dengan rombakan batuan yang ukurannya kasar yang biasanya terdapat di sungai atau lembah. Endapan batuan semacam itu dinamakan endapan aluvium atau aluvial. Karena itu sering kali cebakan emas sekunder di kenal pula sebagai endapan emas aluvial (alluvial gold deposit). Dalam mencari emas atau timah, di samping mencari aluvium muda yang terdapat di sungai-sungai, sebagai penuntun di pakai juga adanya aluvium tua pada bekas sungi, bekas alur dan bagian lekuk di lepas pantai.

Cara yang sama dilakukan dalam pencarian intan. Sayang sekali, intan kalimantan tidak di ketahui asalnya. Cebakan intan primer seperti di Afrika Selatan terbentuk di bagian yang sangat dalam  dari pipa kepundan gunung api. Di tempat itu suhu dan tekanannya amat tinggoi, kondisi yang diperlukan dalam pembentukan intan. Tingkat erosi di kalimantan di perkirakan belum mencapai akar pipa kepundan gunung api, sehingga batuan yang membawa intan atau kimberlit belum muncul kepermukaan. Namun, pertanyaannya, dari mana intan atau sekunder di Kalimantan itu ? Apakah datang dari tempat lain, dan karena hanyutnya kerak bumi maka sekarang terpisah jauh dari tempat asalnya ? Para ahli masih berspekulasi dalam memecahkan masalah ini. Dengan memanfaatkan data geofisika yang bisa menembus agak jauh kedalam perut bumi, batuan kimberlit yang belum tersingkap itu diperkirakan akan dapat dideteksi. Dalam hal ini data geofisiksa yang menunjukkan adanya bentuk circularu atau membulat memberikan harapan akan keberadaan batuan tersebut.


Share this

Related Posts

First